Bukan Sekadar Pelanggaran HAM: Wamenham Tegaskan Penulisan Sejarah Nasional untuk Semua Generasi


Bukan Sekadar Pelanggaran HAM: Wamenham Tegaskan Penulisan Sejarah Nasional untuk Semua Generasi




Renimel News – Penulisan sejarah Indonesia kini memasuki babak baru. Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (Wamenham), Mugiyanto, menegaskan bahwa upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah bukanlah sekadar menulis ulang sejarah pelanggaran HAM, melainkan menyusun ulang sejarah nasional secara utuh dan menyeluruh. Tujuannya? Menyajikan potret bangsa yang lebih lengkap bagi generasi mendatang—tanpa mengaburkan luka, tapi juga tidak terjebak dalam trauma.

Dalam pernyataan resminya di Jakarta pada Kamis (5/6), Mugiyanto menyatakan bahwa proses penulisan ini merupakan bagian dari proyek besar membangun narasi bangsa, yang mencakup seluruh aspek penting perjalanan Indonesia. “Yang sedang ditulis adalah sejarah nasional, bukan hanya sejarah HAM. Kita bicara tentang perjalanan bangsa, tentang bagaimana kita berdiri, jatuh, lalu bangkit kembali,” ujarnya.

Pernyataan ini muncul di tengah polemik seputar proyek penulisan ulang sejarah nasional oleh Kementerian Kebudayaan. Beberapa kalangan aktivis dan pengamat HAM mengkritik bahwa penulisan sejarah ini terkesan ‘memutihkan’ masa lalu, karena hanya sedikit dari peristiwa pelanggaran HAM berat yang dimasukkan ke dalam narasi baru tersebut.

Narasi Positif atau Pengaburan Fakta?

Kritik keras datang dari Komisioner Komnas HAM 2017–2022, Beka Ulung Hapsara. Ia menyayangkan minimnya representasi tragedi-tragedi pelanggaran HAM berat dalam draf sejarah yang tengah digodok pemerintah. Menurutnya, sejarah bukan hanya milik para pemenang, tetapi juga harus memberikan ruang bagi suara-suara korban yang selama ini nyaris hilang dalam ingatan kolektif bangsa.

“Kalau sejarah hanya ditulis dari perspektif negara, maka kita akan kehilangan pelajaran paling penting dari masa lalu: bahwa kekuasaan yang tidak dikontrol bisa melukai rakyatnya sendiri,” kata Beka dalam sebuah diskusi publik di Yogyakarta.

Namun, Menteri Kebudayaan Fadli Zon bersikeras bahwa penulisan ulang ini dilakukan dengan pendekatan yang “positif dan membangun.” Menurut Fadli, sejarah seharusnya menjadi media pemersatu bangsa, bukan alat untuk membuka kembali luka lama. Ia menolak anggapan bahwa pendekatan positif berarti menghapus bagian-bagian kelam dari sejarah.

Hal senada disampaikan oleh Menteri HAM, Natalius Pigai, yang menekankan pentingnya keseimbangan antara kejujuran dan semangat persatuan. “Kita tidak ingin sejarah menjadi propaganda. Tapi kita juga tidak ingin sejarah menjadi alat balas dendam. Maka, menulis sejarah dengan tone positif itu penting—asal tetap jujur pada fakta,” tegasnya.

Menjaga Ingatan, Membangun Masa Depan

Proyek penulisan sejarah nasional ini diperkirakan rampung pada akhir tahun 2025, dan akan melibatkan sejarawan, budayawan, sosiolog, serta tokoh masyarakat dari berbagai daerah. Pemerintah berjanji bahwa tidak akan ada narasi yang dihapus, hanya diperluas agar lebih representatif terhadap keragaman pengalaman bangsa Indonesia.

Namun, pertanyaannya tetap: apakah mungkin menulis sejarah yang jujur, adil, dan menyatukan di tengah lanskap politik yang terus berubah?

Sebagian pihak tetap skeptis, namun bagi Mugiyanto, proyek ini adalah momentum penting. “Ini bukan sekadar catatan peristiwa. Ini adalah warisan intelektual untuk anak cucu kita. Kita tidak sedang menulis sejarah yang indah, tapi sejarah yang utuh,” tutupnya.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama